Disponsori Oleh : Arief Pulsa On KRD Ekonomi
 |
KA Ekonomi tanpa AC lebih murah |
Rencana PT. Kereta Api
Indonesia (Persero) untuk “menambah” fasilitas air conditioner (AC) pada
seluruh gerbong kereta api kelas ekonomi (K3) mulai tahun ini dan rampung pada
tahun depan hanyalah “modus” untuk “melenyapkan” keberadaan kereta api kelas ekonomi
yang dianggap tidak menguntungkan secara finansial bagi perusahaan yang katanya
berplat merah tersebut. Ignasius Jonan (kelahiran Singapura 21 Juni 1963) Direktur
Utama PT. Kereta Api Indonesia (Persero) jauh – jauh hari sudah sesumbar bahwa
mulai 2013 semua gerbong di rangkaian kereta api kelas ekonomi akan dilengkapi
fasilitas pendingin udara (air conditioner – ac, read). Pemasangan Ac tersebut
di gerbong rangkaian kereta api kelas ekonomi (K3) sudah berjalan dan
dipergunakan pada angkutan lebaran tahun ini, dengan tarif bervariasi mulai
dari Rp. 80.000.- Tarif tersebut mencapai 3x lipat dari kereta api kelas
ekonomi regular, yang hanya Rp. 19.500.- sampai dengan Rp. 35.000.- Hal
tersebut tentu merupakan sinyal merah untuk masyarakat kurang mampu yang
mengandalkan transportasi masal kereta api kelas ekonomi regular. Masyarakat
menjadi korban dengan “dipaksa” untuk beralih ke moda transportasi lain jika
tidak mampu merogoh kocek lebih dalam untuk menggunakan kereta api kelas
ekonomi plus ac. Padahal, saat ini masyarakat menengah kebawah sedang mengalami
kesulitan finansial. Selain karena meningkatnya harga - harga kebutuhan pokok,
lahan pekerjaan dan kesempatan usaha di sektor informal untuk memperoleh penghasilan masih jauh dari
harapan. Dikhawatirkan, kekecewaan masyarakat menengah kebawah sebagai bentuk
rasa frustasi mereka berakhir pada perilaku tidak terpuji, seperti “nekad” naik
tanpa memiliki karcis, “bayar langsung diatas”, sampai tindakan anarkis berupa
vandalisme dan sabotase.
“Modus” Melenyapkan
Kereta Api Kelas Ekonomi
 |
KA Ekonomi Regular Sudah Cukup. Tidak perlu AC. |
Mengapa dikatakan
“modus”? Dugaan ini wajar, bukan tanpa argument yang mendasar. Sebab, sejak
dahulu PT. Kereta Api Indonesia (Persero) senantiasa memperlakukan kereta api
kelas ekonomi (K3) seperti “anak tiri”. Berbagai fasilitas utama untuk
kenyamanan dan keamanan penumpang diminimalisir. Lebih memprihatinkan lagi,
upaya perawatan dan memperbaiki kerusakan fasilitas tersebut selalu terkesan
relatif asal - asalan. Alasan klasik selalu didengungkan, dengan dalih
pembayaran Public Service Obligation (PSO – Subsidi, Read) dari pemerintah
selalu terlambat dan jumlahnya kurang mencukupi untuk biaya operasional.
Lantas, apakah benar? Berdasarkan pemberitaan di beberapa media, tahun ini
jumlah Public Service Obligation (PSO – Subsidi, Read) yang dialokasikan
pemerintah untuk PT. Kereta Api Indonesia (Persero) mengalami peningkatan menjadi
800 milyar rupiah, dari tahun sebelumnya dialokasikan sebesar 700an milyar
rupiah. Tentu saja relatif cukup untuk operasional kereta api kelas ekonomi
(K3) regular dan jika masih dianggap kurang, seharusnya perusahaan milik Negara
hasil warisan “gono gini” pemerintah Belanda dan Pejuang Indonesia ini mampu
“melobi” para wakil rakyat di DPR untuk meningkatkan besaran alokasi dana PSO.
Begitupun dengan alur dan proses pencairannya, harus bisa dioptimalkan sefektif
dan seefisien mungkin.
 |
KA Ekonomi Regular tanpa AC sudah bagus dan nyaman |
Air Conditioner (AC,
Read) adalah kebutuhan tertier. Untuk sebagian kalangan, AC tentu sangat
menunjang kesegaran dan kesejukan terutama saat udara terasa panas dan
menyengat. AC cocok dipasang di ruangan - ruangan yang dihuni oleh hiruk pikuk
kesibukan orang banyak, seperti tempat perbelanjaan, perkantoran, dan ruang
tunggu. Oleh karena itu, pengamat transportasi kereta api, Arief Rahmat
Pamungkas tidak habis pikir dengan kebijakan pemasangan AC pada seluruh gerbong
di rangkaian kereta api kelas ekonomi (K3). Karena, pengguna AC tentu saja
relatif, dimana AC diperlukan untuk keadaan situasional, bukan kebutuhan dasar
manusia. Seperti halnya masyarakat pengguna kereta api kelas ekonomi (K3) yang
sebagian besar diantaranya “alergi” dengan AC. Mengingat, sebagian besar
perjalanan kereta api kelas ekonomi (K3) ditempuh pada malam hari, seperti
kereta api Kahuripan, Kutojaya Selatan, Serayu 143, dan Serayu 144. Di malam
hari, sebagian besar pengguna kereta api kelas ekonomi (K3) lebih memilih
beristirahat dengan tidur. Tentu saja, selain udara malam yang sangat dingin,
dengan menyalanya AC akan semakin membuat pengguna kereta api menggigil kedinginan.
Akhirnya, pengguna kereta api harus kembali “merogoh” koceknya untuk menyewa
selimut dan membeli kaus kaki. Sebenarnya, pemasangan kipas angin dengan
kapasitas dan kualitas seperti di kereta api kelas bisnis (K2) lebih rasional
dan mengakomodir aspirasi sebagian masyarakat pengguna kereta api yang “doyan”
dengan dinginnya AC. Seperti halnya kipas angin pada kereta api kelas bisnis
(K2) Mutiara Selatan, dimana pengoperasiannya dapat disesuaikan sesuai
kebutuhan pengguna. Selain itu, investasi yang dikeluarkan oleh PT. Kereta Api
Indonesia (Persero) relatif murah dan hemat energi (salah satu komitmen untuk
go green dan save energy). Bandingkan saja, berdasarkan pemberitaan di media,
satu set AC untuk satu rangkaian kereta api menelan biaya investasi sampai lima
puluh juta rupiah. Sementara itu, dengan kipas angin konvensional sebagai
jawaban dan solusi alternatif tentu harganya jauh lebih hemat dan efektif untuk
dipergunakan di kereta api kelas ekonomi (K3).
Sebagian orang
beranggapan, pemasangan AC ditujukan untuk menunjang dan mengefektifkan
peraturan larangan merokok dan pedagang asongan di dalam kereta api kelas
ekonomi (K3). Tentu anggapan tersebut perlu diluruskan, mengingat kereta api
kelas Eksekutif (K1) yang telah lebih dahulu dilengkapi fasilitas AC tidak
berjalan efektif. Perokok terus mencari celah, mulai dari memanfaatkan bordes,
toilet kereta api, dan tempat lain dimana tidak terawasi dengan baik oleh awak
kereta api. Sementara itu, pedagang asongan tidak mau kalah cerdik, apapun
dilakukan untuk tetap mempertahankan “eksistensi” mata pencaharian utamanya
dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup diri dan keluarganya.
Siapa yang
diuntungkan?
 |
KA Ekonomi AC, mahal dan pemborosan energi. |
Dengan “lenyapnya”
kereta api kelas ekonomi (K3) regular, tentu popularitas kereta api komersial
kelas Bisnis (K2) dan Eksekutif (K1) akan diuntungkan dari “kelimpahan” durian
runtuh. Bukan tidak mungkin, mengingat rentang harga yang tidak jauh berbeda,
membuat orang yang memiliki “rezeki” lebih akan memilih menggunakan salah satu
dari kedua kelas “bergengsi” tersebut untuk mendapatkan pelayanan “ekstra”.
Sementara itu, untuk mereka yang kemampuan ekonominya pas - pasan, harus rela
gigit jari dan menahan kerinduannya untuk pulang dan berkumpul bersama keluarga
di kampung halaman. Sebagai perusahaan
jasa transportasi masal berplat merah, PT. Kereta Api Indonesia (Persero)
mengklaim harus memiliki dan meningkatkan “benefit” kedepannya, tidak seperti
dahulu yang terus menerus mendapatkan kerugian. Hal tersebut tentu berimplikasi
positif, dengan syarat tidak “mengorbankan” dan “memeras” masyarakat menengah
kebawah.
Menarik dengan pesan
Gubernur DKI Jakarta ke 14, Sutiyoso, dalam sebuah acara di televisi swasta
nasional, mengatakan bahwa transportasi tidak melulu harus mengambil untung,
karena keuntungan yang lebih berharga adalah keuntungan lain diluar substansi
komersial transportasi, seperti beralihnya masyarakat dari alat transportasi
pribadi ke alat transportasi masal, penghematan jutaan barel Bahan Bakar minyak
(BBM), sampai terciptanya lapangan pekerjaan baru untuk pemenuhan kebutuhan
Sumber Daya Manusia (SDM) operasional jasa transportasi.
Tarif Mahal
 |
Petugas sedang memasang AC di kereta api ekonomi |
Dengan tarif mulai
dari delapan puluh ribu rupiah, “investasi” PT. Kereta Api Indonesia (Persero)
akan menghasilkan benefit yang sangat besar dari selisih tarif awal sebesar 50
sampai 400%. Salah satu contohnya adalah tarif kereta api kelas ekonomi (K3)
Kutojaya Selatan Regular saat ini adalah Rp. 19.500,- (Sudah termasuk PSO).
Lonjakan tarif yang cukup signifikan mencapai 400% dengan tarif .kereta api
kelas ekonomi (K3) Kutojaya Selatan plus AC sebesar delapan puluh ribu rupiah.
Memberatkan bukan? Selain itu, masih terbesit pertanyaan, apakah tarif tersebut
sudah termasuk kategori bersubsidi dan disetujui oleh Pemerintah? Sebagian besar
penduduk Indonesia adalah kalangan menengah kebawah, begitupun dengan pengguna
kereta api di negeri kaya akan koruptor ini. Kebanyakan, perantau yang
menggunakan kereta api kelas ekonomi (K3) adalah pekerja kasar dan serabutan
yang berpenghasilan rendah, berkisar Rp. 30.000 s.d. 50.000.- /hari. Tentu upah
yang mereka dapatkan hanya cukup untuk menafkahi anak dan istri sehari - hari.
Itupun masih jauh dari cukup, untuk mereka yang memiliki anak lebih dari dua
dan berstatus sebagai anak sekolah akan semakin kebingungan. Terlebih, jika PT.
Kereta Api Indonesia (Persero) tidak “manusiawi” dengan memaksakan penambahan
AC dan menaikan tarif secara sepihak tanpa melibatkan pemerintah dan
stakeholder. Kalkulasi sederhana, dengan tarif delapan puluh ribu rupiah untuk
kereta api kelas ekonomi (K3) plus Ac, maka diperlukan sedikitnya Rp. 320.000.-
untuk dua orang dewasa perjalanan pulang pergi (Catatan : Anak tidak
disertakan). Belum termasuk cost belanja penganan oleh - oleh dan biaya lain
yang tidak terduga. Sementara, dengan tarif kereta api kelas ekonomi (K3)
regular “termahal” yang ada saat ini sebesar Rp. 35.000.- akan sangat membantu
mereka yang secara ekonomi kurang beruntung. Dengan Rp. 140.000.- untuk dua
orang dewasa, bisa melakukan perjalanan pulang pergi. Selain itu, dapat berbagi
kebahagiaan dengan keluarga di kampung halaman dan berbagi rezeki bersama
pedagang asongan selama diperjalanan.
Prioritaskan
kepentingan yang lebih mendesak
 |
Arief Rahmat Pamungkas saat bersama Gubernur Jawa Barat |
Ketimbang terus
menerus “mengurusi” AC, sebaiknya PT. Kereta Api Indonesia (Persero) bersama -
sama dengan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas angkut penumpang kereta api
kelas ekonomi (K3). Formulanya dapat dengan penambahan gerbong kereta api untuk
penumpang di kontrak PSO, yang semula 4 sampai 5 gerbong untuk penumpang,
menjadi 7 sampai 8 gerbong untuk penumpang. Masukan tersebut tentu dengan
memperhatikan tambahan 1 gerbong kereta makan berpembangkit listrik, serta
meniadakan gerbong penghalang (aling - aling). Sehingga, tetap sesuai dengan
kemampuan maksimum daya tarik lokomotif. Terutama, untuk kereta api jarak dekat
relasi Cicalengka - Padalarang (PP) Kereta Api rel Diesel (KRD) Bandung Raya
Kelas Ekonomi (K3). Penambahan kapasitas angkut dari 2 gerbong penumpang dapat
meningkatkan okupansi penumpang dan potensi pendapatan perusahaan. Untuk
mensiasati kebocoran karcis, PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dapat
mensiasatinya dengan reward berupa bonus hadiah undian dan punishment berupa
larangan naik kereta api selama 1 tahun seperti di Negara - Negara maju.
+ komentar + 5 komentar
Benar, kalo taun depan ga ada ekonomi biasa, ongkos teh ngabengkak. Saya mah teu butuh AC, percuma da malam mah dingin.
AC bagus tuh, tapi yg manual on off per kursi penumpang. Tarifnya jgn naik! kalo naik tarif aku ga setuju! Harus tetep disubsidi ya..
Aduh engga banget deh AC, ga penting. Tarif jadi naik cuma untuk AC? Tidak setuju!
lebih baik kaya taun kemarin diselipkan aj gerbong ac 1 atau 2 gerbong aj....
tapi setidak nya lebih nyaman lah ya, naik nya juga gk bgtu berat kok..
Posting Komentar